Laman

Senin, 21 Oktober 2013

TAFSIR AL-KASYSYAF



A.    Riwayat Hidup Al-Zamakhsyari
Di dalam tafsirnya disebutkan bahwa nama lengkap al-Zamakhsyari adalah ‘Abd al-Qasim Mahmud ibn Muhammad ibn Umar al-Zamkhsyari. Namun, ada juga yang menuliskan dengan Muhammad ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Khawarizmi al-Zakamkhsyari. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di Khawarizmi bernama Zamakhsyar pada hari Rabu 27 Rajab 467 H yang bertepatan dengan 18 Maret 1075 M.[1]
Semenjak remaja ia sudah pergi merantau untuk menuntut ilmu ke Bukhara, kota yang terkenal dengan para sastrawan dan menjadi pusat kegiatan keilmuan ketika itu. Namun, beberapa tahun sepeninggal ia merantau, ia kembali lagi ke kampong halamannya sehubungan dipenkerakan ayahnya oleh pihak penguasa yang kemudian wafat.
Kepulangannya tersebut berbuah berkah tersendiri bagi al-Zamakhsyari karena ia bisa bertemu dengan Abu Mudar al-Nahwi, seorang ulama terkemuka di Khawarizm. Karena dengan bimbingan dan bantuan dari Abu Mudar ia bisa menguasai bahasaa dan sastra Arab, logika, filsafat, dan ilmu kalam.[2]
Al-Zamakhsyari juga terkenal dengan ambisinya akan kedudukan di pemerintahan. Namun, ia harus merasa kecewa karena ambisi yang diinginkan tidak bisa didapatkan sekalipun ia telah dipromosikan oleh gurunya. Bahkan, kekecewaannya bertambah besar disebabkan orang-orang yang lebih rendah darinya dari segi ilmu dan akhlak bisa mendapatkan jabatan tersebut.
Keadaan tersebut memaksanya pindah ke Khurasan, di sana ia disambut baik dan memperoleh pujian dari pejabat pemerintahan Abu al-Fath ibn al-Husain al-Ardastani kemudian digantikan oleh ‘Ubaidillah Nizam al-Mulk. Namun, tidak lama setelah itu ia pindah lagi ke kota Isfahan yang merupakan pusat pemerintahan Daulahh Bani Saljuk karena merasa tidak puas dengan hanya menjadi sekretaris (katib).[3]
            Menurut Syihab al-Din, ada dua kemungkinan penyebab kegagalan al-Zamakhsyari dalam mencapai ambisinya. Pertama, ia merupakan seorang tokoh Mu’tazilah yang demonstratif sehingga tidak disenangi oleh beberapa kalangan terutama yang berafilasi dengan Mu’tazilah. Kedua, kurangnya dukungan jasmani karena memiliki fisik yang cacat, yakni kehilangan satu kakinya.[4]
            Pada tahun 512 H al-Zamakhsyari terserang penyakit parah. Keadaan ini menyebabkannya melanjutkan perjalanan ke Baghdad karena angan-angannya tidak mungkin tercapai lagi. Di sinilah ia mengikuti pengajian hadis dari Abu al-Khattab al-Batr Abi Sa’idah al-Syafan dan Abi Mansur al-Harisi. Selain itu, ia juga mengikuti pengajian fiqih dari Damagani al-Syarif ibn al-Syajari, seorang ahli fiqih hanafi.
            Setelah itu, ia melawat ke Mekkah selama dua tahun karena ingin menjauhi pemerintah dan bertekad untuk membersihkan dosa. Di kota ini ia tekun mempelajari kitab Sibawaihi, seorang pakar gramatikal bahasa Arab. Kemudian ia kembali lagi ke Zamakhsyar karena kerinduannya pada tanah kelahiran. Namun, karena menyadari usianya yang sudah lanjut ia kembali lagi ke kota Mekkah untuk kali kedua dan menetap selama tiga tahun, yakni 256-259 H (1132-1135 M). di sinilah ia mendapat gelar Jar Allah karena bertetangga dengan baitullah. Dari Mekkah ia pergi ke Baghdad, kemudian ke Khawarizm. Beberapa tahun setibanya di tanah kelahiran ia wafat di Jurjaniyah pada malam arafah tahun 538 H.[5]
            Selama hidupnya al-Zamakhsyari tidak pernah menikah karena sebagian besar umurnya dihabiskan untuk ilmu serta menyebar luaskan faham yang dianutnya, sebagaimana banyak dilakukan oleh pendahulunya dari ulama Mu’tazilah. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika para penulis biografinya mencatat sekitar 50 karya telah ditulisnya dalam berbagai bidang yang sebagiannya masih dalam bentuk manuskrip. Di antara karyanya yang terkenal tersebut ialah sebagai beriikut[6]:
No
Bidang
Nama
1.
Tafsir
al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil
2.
Hadis
Al-F’iq fi Garib al-Hadis
3.
Fiqih
Al-Rai’id fi al-fara’id
4.
Akhlak
-          Mutasyabih Asma’ al-Ruwat
-          Al-Kalim al Nabawiq fi al-Mawa’iz
-          Al-Nasa’ih al-Kibar al-Nasa’ih Sighar
-          Maqamat fi al-Mawa’iz
-          Kitab fi Manaqib al-Imam Abi Hanfah
5.
Sastra
-          Diwan Rasa’il
-          Diwan al-Tamsil
-          Tasliyat al-Darir
6.
Nahwu
-          Al-Nawuzaj fi al-Nahw
-          Syarh al-Kitab Sibawaih
-          Syarh al-Mufassal fi al-Nahw
7.
Bahasa
-          Asas al-Balaghah
-          Jawahir al-Lughah
-          Al-Ajnas
-          Muqaddimah al-adab fi al-Lughah

B.     Tafsir al-Kasysyaf
a.      Latar Belakang Penulisan
Dalam Muqaddimah kitabnya dikatakan bahwa penulisan karyanya tersebut berawal dari permntaan sebuah kelompok Mu’tazilah yang menamakan diri dengan al-Fi’ah al-Najiyah al-‘Adliyah. Mereka meminta agar ia mengungkap hakikat semua makna al-Qur’an serta penakwilannya juga meminta agar didektekan mengenai fawatih al-suwar. [7]
Tafirnya tersebut mendapat sambutan yang hangat, hal ini ditandai dengan banyaknya tokoh yang dijumpainya ketika perjalanan keduanya ke Mekkah yang ingin memperoleh karyanya tersebut. Bahkan, salah satu diantara mereka yang menginginkan tafsirnya tersebut adalah Ibn Wahhas, pemimpin pemerintahan kota Mekkah.
Selain adanya kesadaran diri juga datangnya desakan dari pengikut Mu’tazilah, kitabnya tersebut bisa diselesaikan dalam kurun waktu 30 bulan, yakni dimulai dari 526 H ketika ia di Mekkah dan selesai pada hari Senin 23 Rabiul Akhir 528H.[8]
Pada tahun 1968, al-Kasysyaf dicetak ulang di Mesir oleh percetakan Mustafa al-Babi al-Halabi dalam empat jilid. Jild pertama dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Maidah. Jilid kedua dari surat al-An’am hingga surat al-Anbiya’. Jilid ketiga diawali dengan surat al-Hajj dan diakhri dengan surat al-Hujarat. Jilid keempat dari surat Qaf sampai dengan surat al-Nas.[9]
b.      Metode dan Corak Penafsiran
Al-Zamakhsyari menyusun kitab ini berdasarkan susunan tertib mushaf utsmani. Ia juga mencantumkan basmalah di setiap awal surat kecuali pada surat at-Taubah. Sedangkan, dalam menafsirkan ia berusaha semaksimal mungkin untuk meneliti makna kata-kata dan kalimat-kalimat dengan cermat, artinya dalam menafsirkan ia menggunakan metode tahlili.
Sebelum memulai sebuah penafsiran, ia terlebih dahulu mencantumkan ayat yang akan ditafsirkan kemudian mencari hubungan (munasabah) ayat maupun surat yang ditasirkan dengan ayat atau surat lain. Misalnya dalam menafsirkan awal surat Qaf yang ia hubungkan dengan surat Shad, dimana keduanya sama-sama menyebutkan keutamaan al-Qur’an.[10]
Dalam memaknai sebuah ayat ia sangat mempertimbangkan posisi suatu kata dalam kalimat serta tempat kembalinya sebuah dhamir. Artinya, penggunaan rasio dengan pendekatan bahasa sangat kental dalam tafsir yang disusunnya. Misalnya dalam menafsirkan surat an-Naba’ berikut:
§Ntã tbqä9uä!$|¡tFtƒ ÇÊÈ
 Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?
Menurutnya, dhamir ‘mereka’ yang dimaksud pada ayat di atas ada dua kemungkinan. Pertama, kaum Muslimin, logikanya mereka bertanya supaya menambah ketakutan mereka akan hal tersebut. Kedua, orang kafir bertanya karena keraguan mereka seperti yang dijelaskn oleh ayat berikutnya. Artinya, ayat tersebut tidak hanya ditujukan pada orang kafir sebagaimana dijelaskan secara literal oleh al-Qur’an tetapi juga untuk kaum muslim.[11]
Dalam menafsirkan ayat seringkali al-Zamakhsyari mencantumkan syair di dalam argumentnya. Misalnya dalam menjelaskan ayat di atas, bahwa kalimat tersebut asalnya adalah menggunakan huruf mim dengan mad, yaitu huruf istifham yang dimasuki oleh huruf jar (‘an). Setelah menjelaskan pendapatnya mengenai asal kalimat tersebut ia menambahkan syair berikut:
على ما قام يشتمنى * كخنزير تمرغ في رما د
Dalam menyatakan penafsiran sebuah ayat al-Zamakhsyari juga sering menggunakan riwayat yang bisa memperkuat aargumentnya tersebut. Misalnya dalam menafsirkan awal surat ath-Thur. menurutnya, penggunaan sumpah yang disandarkan kepada gunung Tursina yang merupakan tempat Nabi Musa dengan Rabb, ditafsirkan bahwa orang yang menzhalimi Nabi Muhammad akan menrima azab dari Allah seperti yang diterima oleh kaum Nabi Musa. Setelah menyatakan penafsirannya tersebut ia mencantumkan riwayat dari Malik yang menyatakan hal yang sama.[12]
Namun, rasionalisasi dan sekalipun menggunakan riwayat yang digunakan sangat kental dengan faham Mu’taziilah. Hal inilah yang dinilai oleh banyak ulama bahwa kitabnya yang ia susun merupakan pembelaan terhadap madzhab yang ia anut. Misalnya dalam menafsirkan Qs. Al-Qiyamah : 22-23:
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
 Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.
Kata otÏß$tR pada ayat di atas tidak dimaknai secar literal, yakni melhat. Akan tetapi, dimaknai dengan al-Raja’, yakni menunggu, mengharapkan. Untuk mendukung argumentnya ia mencoba mencari munasabah ayat tersebut dengan Qs. Al-An’m: 103[13]:
žw çmà2Íôè? ㍻|Áö/F{$# uqèdur à8Íôムt»|Áö/F{$# ( uqèdur ß#Ïܯ=9$# 玍Î6sƒø:$# ÇÊÉÌÈ  
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui
Penafsiran-penafsiran seperti ayat di atas menunjukkankan bagaimana penafsiran al-Zmakhsyari selalu membela pemahaman Mu’tazilah. Karena menurut Mu’tazilah makhluk tidak bisa melihat Rabb secara zahir.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi al-Qur’an. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.
Al-Zamakhsyari,  al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil Jilid IV (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th)
Al-Zamakhsyari,  al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil Jilid I (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th)
Yusuf, Muhammad. dkk. Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang Bisu). Yogyakarta: TERAS, 2004.


[1] Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang Bisu). Yogyakarta: TERAS, 2004. Hlm 44.
[2] Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang Bisu). Yogyakarta: TERAS, 2004. Hlm 44
[3] Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang Bisu). Yogyakarta: TERAS, 2004. Hlm 45
[4] Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang Bisu). Yogyakarta: TERAS, 2004. Hlm 46
[5] Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang Bisu). Yogyakarta: TERAS, 2004. Hlm 46
[6] Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang Bisu). Yogyakarta: TERAS, 2004. Hlm 47.
[7] Al-Zamakhsyari,  al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil Jilid I (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th). hlm. 17
[8] Al-Zamakhsyari,  al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil Jilid IV (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th). hlm.304
[9]
[10]Al-Zamakhsyari,  al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil Jilid IV (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th) Hlm.3
[11] Al-Zamakhsyari,  al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil Jilid IV (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th) Hlm 206
[12] Al-Zamakhsyari,  al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil Jilid IV (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th) Hlm22
[13] Al-Zamakhsyari,  al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil Jilid IV (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th) Hlm 192