A. Riwayat Hidup Al-Zamakhsyari
Di dalam tafsirnya disebutkan bahwa nama lengkap
al-Zamakhsyari adalah ‘Abd al-Qasim Mahmud ibn Muhammad ibn Umar al-Zamkhsyari.
Namun, ada juga yang menuliskan dengan Muhammad ibn ‘Umar ibn Muhammad
al-Khawarizmi al-Zakamkhsyari. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di Khawarizmi
bernama Zamakhsyar pada hari Rabu 27 Rajab
467 H yang bertepatan dengan 18 Maret 1075 M.[1]
Semenjak remaja ia sudah pergi merantau untuk menuntut
ilmu ke Bukhara, kota yang terkenal dengan para sastrawan dan menjadi pusat
kegiatan keilmuan ketika itu. Namun, beberapa tahun sepeninggal ia merantau, ia
kembali lagi ke kampong halamannya sehubungan dipenkerakan ayahnya oleh pihak
penguasa yang kemudian wafat.
Kepulangannya tersebut berbuah berkah tersendiri bagi
al-Zamakhsyari karena ia bisa bertemu dengan Abu Mudar al-Nahwi, seorang ulama
terkemuka di Khawarizm. Karena dengan bimbingan dan bantuan dari Abu Mudar ia
bisa menguasai bahasaa dan sastra Arab, logika, filsafat, dan ilmu kalam.[2]
Al-Zamakhsyari juga terkenal dengan ambisinya akan
kedudukan di pemerintahan. Namun, ia harus merasa kecewa karena ambisi yang
diinginkan tidak bisa didapatkan sekalipun ia telah dipromosikan oleh gurunya.
Bahkan, kekecewaannya bertambah besar disebabkan orang-orang yang lebih rendah
darinya dari segi ilmu dan akhlak bisa mendapatkan jabatan tersebut.
Keadaan tersebut memaksanya pindah ke Khurasan, di sana
ia disambut baik dan memperoleh pujian dari pejabat pemerintahan Abu al-Fath
ibn al-Husain al-Ardastani kemudian digantikan oleh ‘Ubaidillah Nizam al-Mulk.
Namun, tidak lama setelah itu ia pindah lagi ke kota Isfahan yang merupakan
pusat pemerintahan Daulahh Bani Saljuk karena merasa tidak puas dengan hanya
menjadi sekretaris (katib).[3]
Menurut Syihab al-Din, ada dua kemungkinan penyebab
kegagalan al-Zamakhsyari dalam mencapai ambisinya. Pertama, ia merupakan
seorang tokoh Mu’tazilah yang demonstratif sehingga tidak disenangi oleh
beberapa kalangan terutama yang berafilasi dengan Mu’tazilah. Kedua, kurangnya
dukungan jasmani karena memiliki fisik yang cacat, yakni kehilangan satu
kakinya.[4]
Pada tahun 512 H al-Zamakhsyari terserang penyakit parah.
Keadaan ini menyebabkannya melanjutkan perjalanan ke Baghdad karena
angan-angannya tidak mungkin tercapai lagi. Di sinilah ia mengikuti pengajian
hadis dari Abu al-Khattab al-Batr Abi Sa’idah al-Syafan dan Abi Mansur
al-Harisi. Selain itu, ia juga mengikuti pengajian fiqih dari Damagani
al-Syarif ibn al-Syajari, seorang ahli fiqih hanafi.
Setelah itu, ia melawat ke Mekkah selama dua tahun karena
ingin menjauhi pemerintah dan bertekad untuk membersihkan dosa. Di kota ini ia
tekun mempelajari kitab Sibawaihi, seorang pakar gramatikal bahasa Arab.
Kemudian ia kembali lagi ke Zamakhsyar karena kerinduannya pada tanah
kelahiran. Namun, karena menyadari usianya yang sudah lanjut ia kembali lagi ke
kota Mekkah untuk kali kedua dan menetap selama tiga tahun, yakni 256-259 H
(1132-1135 M). di sinilah ia mendapat gelar Jar Allah karena bertetangga
dengan baitullah. Dari Mekkah ia pergi ke Baghdad, kemudian ke
Khawarizm. Beberapa tahun setibanya di tanah kelahiran ia wafat di Jurjaniyah
pada malam arafah tahun 538 H.[5]
Selama hidupnya al-Zamakhsyari tidak pernah menikah
karena sebagian besar umurnya dihabiskan untuk ilmu serta menyebar luaskan
faham yang dianutnya, sebagaimana banyak dilakukan oleh pendahulunya dari ulama
Mu’tazilah. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika para penulis biografinya
mencatat sekitar 50 karya telah ditulisnya dalam berbagai bidang yang
sebagiannya masih dalam bentuk manuskrip. Di antara karyanya yang terkenal
tersebut ialah sebagai beriikut[6]:
No
|
Bidang
|
Nama
|
1.
|
Tafsir
|
al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi
Wujuh al-Ta’wil
|
2.
|
Hadis
|
Al-F’iq fi Garib
al-Hadis
|
3.
|
Fiqih
|
Al-Rai’id fi al-fara’id
|
4.
|
Akhlak
|
-
Mutasyabih Asma’ al-Ruwat
-
Al-Kalim al Nabawiq fi al-Mawa’iz
-
Al-Nasa’ih al-Kibar al-Nasa’ih Sighar
-
Maqamat fi al-Mawa’iz
-
Kitab fi Manaqib al-Imam Abi Hanfah
|
5.
|
Sastra
|
-
Diwan Rasa’il
-
Diwan al-Tamsil
-
Tasliyat al-Darir
|
6.
|
Nahwu
|
-
Al-Nawuzaj fi al-Nahw
-
Syarh al-Kitab Sibawaih
-
Syarh al-Mufassal fi al-Nahw
|
7.
|
Bahasa
|
-
Asas al-Balaghah
-
Jawahir al-Lughah
-
Al-Ajnas
-
Muqaddimah al-adab fi al-Lughah
|
B.
Tafsir
al-Kasysyaf
a.
Latar
Belakang Penulisan
Dalam
Muqaddimah kitabnya dikatakan bahwa penulisan karyanya tersebut berawal dari
permntaan sebuah kelompok Mu’tazilah yang menamakan diri dengan al-Fi’ah
al-Najiyah al-‘Adliyah. Mereka meminta agar ia mengungkap hakikat semua
makna al-Qur’an serta penakwilannya juga meminta agar didektekan mengenai fawatih
al-suwar. [7]
Tafirnya
tersebut mendapat sambutan yang hangat, hal ini ditandai dengan banyaknya tokoh
yang dijumpainya ketika perjalanan keduanya ke Mekkah yang ingin memperoleh
karyanya tersebut. Bahkan, salah satu diantara mereka yang menginginkan
tafsirnya tersebut adalah Ibn Wahhas, pemimpin pemerintahan kota Mekkah.
Selain
adanya kesadaran diri juga datangnya desakan dari pengikut Mu’tazilah, kitabnya
tersebut bisa diselesaikan dalam kurun waktu 30 bulan, yakni dimulai dari 526 H
ketika ia di Mekkah dan selesai pada hari Senin 23 Rabiul Akhir 528H.[8]
Pada
tahun 1968, al-Kasysyaf dicetak ulang di Mesir oleh percetakan Mustafa
al-Babi al-Halabi dalam empat jilid. Jild pertama dimulai dengan surat
al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Maidah. Jilid kedua dari surat al-An’am
hingga surat al-Anbiya’. Jilid ketiga diawali dengan surat al-Hajj dan diakhri
dengan surat al-Hujarat. Jilid keempat dari surat Qaf sampai dengan surat
al-Nas.[9]
b.
Metode
dan Corak Penafsiran
Al-Zamakhsyari
menyusun kitab ini berdasarkan susunan tertib mushaf utsmani. Ia juga
mencantumkan basmalah di setiap awal surat kecuali pada surat at-Taubah.
Sedangkan, dalam menafsirkan ia berusaha semaksimal mungkin untuk meneliti
makna kata-kata dan kalimat-kalimat dengan cermat, artinya dalam menafsirkan ia
menggunakan metode tahlili.
Sebelum
memulai sebuah penafsiran, ia terlebih dahulu mencantumkan ayat yang akan
ditafsirkan kemudian mencari hubungan (munasabah) ayat maupun surat yang
ditasirkan dengan ayat atau surat lain. Misalnya dalam menafsirkan awal surat
Qaf yang ia hubungkan dengan surat Shad, dimana keduanya sama-sama menyebutkan
keutamaan al-Qur’an.[10]
Dalam
memaknai sebuah ayat ia sangat mempertimbangkan posisi suatu kata dalam kalimat
serta tempat kembalinya sebuah dhamir. Artinya, penggunaan rasio dengan
pendekatan bahasa sangat kental dalam tafsir yang disusunnya. Misalnya dalam
menafsirkan surat an-Naba’ berikut:
§Ntã tbqä9uä!$|¡tFt ÇÊÈ
Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?
Menurutnya, dhamir ‘mereka’ yang dimaksud pada
ayat di atas ada dua kemungkinan. Pertama, kaum Muslimin, logikanya mereka
bertanya supaya menambah ketakutan mereka akan hal tersebut. Kedua, orang kafir
bertanya karena keraguan mereka seperti yang dijelaskn oleh ayat berikutnya.
Artinya, ayat tersebut tidak hanya ditujukan pada orang kafir sebagaimana
dijelaskan secara literal oleh al-Qur’an tetapi juga untuk kaum muslim.[11]
Dalam menafsirkan ayat seringkali
al-Zamakhsyari mencantumkan syair di dalam argumentnya. Misalnya dalam
menjelaskan ayat di atas, bahwa kalimat tersebut asalnya adalah menggunakan
huruf mim dengan mad, yaitu huruf istifham yang dimasuki
oleh huruf jar (‘an). Setelah menjelaskan pendapatnya mengenai
asal kalimat tersebut ia menambahkan syair berikut:
على ما
قام يشتمنى * كخنزير تمرغ في رما د
Dalam
menyatakan penafsiran sebuah ayat al-Zamakhsyari juga sering menggunakan
riwayat yang bisa memperkuat aargumentnya tersebut. Misalnya dalam menafsirkan awal
surat ath-Thur. menurutnya, penggunaan sumpah yang disandarkan kepada gunung
Tursina yang merupakan tempat Nabi Musa dengan Rabb, ditafsirkan bahwa orang
yang menzhalimi Nabi Muhammad akan menrima azab dari Allah seperti yang
diterima oleh kaum Nabi Musa. Setelah menyatakan penafsirannya tersebut ia
mencantumkan riwayat dari Malik yang menyatakan hal yang sama.[12]
Namun,
rasionalisasi dan sekalipun menggunakan riwayat yang digunakan sangat kental
dengan faham Mu’taziilah. Hal inilah yang dinilai oleh banyak ulama bahwa
kitabnya yang ia susun merupakan pembelaan terhadap madzhab yang ia anut.
Misalnya dalam menafsirkan Qs. Al-Qiyamah : 22-23:
×nqã_ãr 7Í´tBöqt îouÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat.
Kata otÏß$tR pada
ayat di atas tidak dimaknai secar literal, yakni melhat. Akan tetapi, dimaknai
dengan al-Raja’, yakni menunggu, mengharapkan. Untuk mendukung
argumentnya ia mencoba mencari munasabah ayat tersebut dengan Qs.
Al-An’m: 103[13]:
w çmà2Íôè? ã»|Áö/F{$# uqèdur à8Íôã t»|Áö/F{$# ( uqèdur ß#Ïܯ=9$# çÎ6sø:$# ÇÊÉÌÈ
Dia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang
kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui
Penafsiran-penafsiran
seperti ayat di atas menunjukkankan bagaimana penafsiran al-Zmakhsyari selalu
membela pemahaman Mu’tazilah. Karena menurut Mu’tazilah makhluk tidak bisa
melihat Rabb secara zahir.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan,
Syaikh Manna. Pengantar Studi al-Qur’an. Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2006.
Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi
Wujuh al-Ta’wil Jilid IV (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th)
Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi
Wujuh al-Ta’wil Jilid I (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th)
Yusuf,
Muhammad. dkk. Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang Bisu).
Yogyakarta: TERAS, 2004.
[1] Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang
Bisu). Yogyakarta: TERAS, 2004. Hlm 44.
[2] Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang
Bisu). Yogyakarta: TERAS, 2004. Hlm 44
[3] Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang
Bisu). Yogyakarta: TERAS, 2004. Hlm 45
[4] Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang
Bisu). Yogyakarta: TERAS, 2004. Hlm 46
[5] Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang
Bisu). Yogyakarta: TERAS, 2004. Hlm 46
[6] Muhammad Yusuf, dkk. Studi Kitab Tafsir (Menyuarakan Teks yang
Bisu). Yogyakarta: TERAS, 2004. Hlm 47.
[7] Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq
al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil
Jilid I (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th). hlm. 17
[8] Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq
al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil
Jilid IV (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th). hlm.304
[10]Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq
al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil Jilid
IV (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th) Hlm.3
[11] Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq
al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil
Jilid IV (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th) Hlm 206
[12] Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq
al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil
Jilid IV (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th) Hlm22
[13] Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq
al-Tanzil wa’Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil
Jilid IV (T.kt: Intisyarat Aftab, t.th) Hlm 192