Laman

Jumat, 18 Oktober 2013

Kodifikasi al-Qur’an pada Masa Utsman RA



Perlu diketahui bahwa embrio kodifikasi Al-Qur’an telah dimulai pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq, yaitu dengan dilakukannya pengumpulan shuhuf-shuhuf (menurut bahasa artinya lembaran-lembaran)[1] yang tertulis padanya ayat-ayat Al-Qur’an. Shuhuf-shuhuf itu berupa kepingan-kepingan tulang, kulit, pelepah korma,dan batu.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shidiq, terjadi perang yang dipimpin oleh Kholid bin Walid untuk memerangi Musailamah Al-kadzab yang mengaku bahwa dirinya adalah nabi. Peperangan yang terjadi di Yamamah itu menggugurkan 700 sahabat penghafal Al-Qur’an. Melihat hal ini, Umar bin Khathab meminta kepada Abu Bakar Ash-Shidiq agar Al-Qur’an dikumpulkan karena khawatir Al-Qur’an akan hilang dengan gugurnya para penghafal Al-Qur’an.[2]

Atas usulan dari Umar bin Kathab itulah, maka Abu Bakar Ash-Shidiq memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulksn Al-Qur’an. Karena beliau adalah orang yang pintar, dipercaya keagamaannya, dan salah seorang penulis wahyu di masa Rasulullah. Zaid bin Tsabit dalam tugasnya dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan.[3]
Dari berbagai riwayat menyebutkan bahwa penyimpanan shuhuf-ahuhuf itu dipegang oleh khalifah, namun setelah khalifah Umar bin khathab wafat, shuhuf-shuhuf itu tidak disimpan oleh Utsman sebagai khlafah berikutnya, tetapi dipegang oleh Hafsah. Karena beliau adalah istri Rasul dan anak khalifah Umar, beliau juga sosok yang pandai membaca dan menulis.
Pada masa khalifah Utsman bin affan terjadi perbedaan bacaan (qira’at) diantara umat islam yang mengakibatkan perselisihan yang hebat diantara mereka.
Diriwayatkan oleh Ibnu Atsir dalam kitab Al-Kamil, tentang sebab-sebab terjadinya perselisihan qira’at Al-Qur’an. Bahwa penduduk Himash yang mengambil qira’at dari Al-Miqdad, menganggap qira’at mereka lebih baik dari qira’at-qira’at yang lain. Begitu juga yang dilakukan oleh penduduk Damaskus dan Kufah yang mengambil qira’at dari Abdullah bin Mas’ud. Sementara penduduk Bashrah memegang teguh qira’at yang mereka terima dari Abu Musa Al-Asy’ary.[4] Perselisihan-perselisihan itulah yang disampaikan oleh Hudzaifah Ibnu Yaman kepada khalifah Utsman bin Affan, dan kemudian meminta agar segera memperbaiki keadaan tersebut.
Maka dibetuklah suatu tim penulisan Al-Qur’an yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit, dengan beranggotakan antara lain Abdullah bin Zubaeir, Sa’ad bin Ash dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Yang bertugas untuk membukkukan Al-Qur’an, yakni menyalin lembaran-lembaran Al-Qur’an pada masa khalifah Abu Bakar yang dipegang oleh Hafsah binti Umar untuk dijadikan mushaf.
Ketika itu khalifah Utsman memberikan nasihat agar:[5]
  1. Mengambil keputusan dalam penulisan Al-Qur’an berdasarkan bacaan para penghafal Al-Qur’an.
  2. Apabila terdapat perbedaan di antara mereka tentang suatu bacaan, maka hendaknya ditulis menurut dialek suku Quraisy. Ini disebabkan karena Al-Qur’an diturunkan sesuai dengan dialek mereka.
Ada yang berpendapat bahwa dalam pengkodifikasian tersebut terdapat hambatan, yaitu perbedaan qira’at diantara orang-orang Arab, meskipun Utsman telah memberikan ketentuan di atas.
Setelah tugas itu selesai dikerjakan oleh tim tersebut, maka lembaran-lembaran Al-Qur’an kemudian dikembalikan kepada Hafsah binti Umar.
Hasil pembukuan Al-Qur’an itu diberi nama Al-Mushaf, dan ditulis beberapa buah. Empat diantaranya dikirim ke Mekkah, Syiria, Basrah, dan Kufah.
Sedangkan sisanya disimpan di Madinah sebagai acuan khalifah Utsman sendiri. Mushaf ini lah yang kemudian dikenal dengan Mushaf al-Imam.
Sesudah masa Utsman, boleh disebut tidak ada lagi perubahan yang berarti; namun perbaikan dan penyempurnaan teknis terus berjalan seperti yang dilakukan pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan.[6]
Semua perubahan dan perbaikan yang dilakukan sesudah Utsman itu semata-mata untuk memudahkan membaca dan memahami Al-Qur’an.
Adapun perbedaan qira’at yang masih terdapat hingga kini masih dipakai, karena mempunyai riwayat yang jelas dari Nabi dan tidak bertentangan dengan mushaf yang ditulis pada masa khalifah Utsman.
Dengan demikian, Al-Qur’an yang dibukukan pada masa ini mempunyai faedah yang besar bagi umat islam, diantaranya:
  1. Menyatukan kaum muslimin dengan satu bentuk mushaf, yang seragam dalam ejaan dan tulisannya.
  2. Menyatukan bacaan. Walaupun kenyataan masih terdapat perbedaan bacaan, namun tetap satu dalam ejaan. Sedangkan bacaan yang tidak sesuai dengan mushaf utsmani tidak boleh digunakan lagi.
  3. Menyatukan tertib susunan surat-surat.
Penulisan Al-Qur’an yang dilakukan oleh khalifah Utsman ini adalah tahap pertama. Sedangkan penyempurnaan dengan menggunakan titik-titik, baru dikerjakan pada masa khalifah Marwan bin Hakam, yang dipelopori oleh Abu Al-Aswad Ad-Duali. Dilanjutkan dengan  menggunakan tanda (syakal atau harakat) yang di pelopori oleh Hajjaj bin Yusuf. Dan berikutnya penyempurnaan dengan tanda waqaf, marka’ dan sebagainya.[7]
Al-Qur’an tersebut pada mulanya ditulis bertahap dengan khath Kufi, khath Raihani, khath Tsuluts, dan hath Nasakh. Dengan khath Nasakh inilah kemudian untuk pertama kalinya Al-Qur’an dicetak di Jerman (Hamburg).[8]


[1] Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2008) cet.III, hal.262
[2] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1980) cet.VIII, hal.98
[3] Ibid, hal.100
[4] Ibid, hal.103
[5] Afrzalurrahman, Indeks Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Ahsin W. (Jakarta: Amzah, 2009) cet. IV, hal.333
[6] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hal.37
[7] Afrzalurrahman, Op. Cit,hal.334
[8] Ibid,