Perlu diketahui bahwa
embrio kodifikasi Al-Qur’an telah dimulai pada masa khalifah Abu Bakar
Ash-Shidiq, yaitu dengan dilakukannya pengumpulan shuhuf-shuhuf (menurut bahasa
artinya lembaran-lembaran)[1] yang
tertulis padanya ayat-ayat Al-Qur’an. Shuhuf-shuhuf itu berupa
kepingan-kepingan tulang, kulit, pelepah korma,dan batu.
Pada masa kekhalifahan
Abu Bakar Ash-Shidiq, terjadi perang yang dipimpin oleh Kholid bin Walid untuk
memerangi Musailamah Al-kadzab yang mengaku bahwa dirinya adalah nabi.
Peperangan yang terjadi di Yamamah itu menggugurkan 700 sahabat penghafal
Al-Qur’an. Melihat hal ini, Umar bin Khathab meminta kepada Abu Bakar
Ash-Shidiq agar Al-Qur’an dikumpulkan karena khawatir Al-Qur’an akan hilang
dengan gugurnya para penghafal Al-Qur’an.[2]
Atas usulan dari Umar bin Kathab itulah, maka Abu Bakar Ash-Shidiq memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulksn Al-Qur’an. Karena beliau adalah orang yang pintar, dipercaya keagamaannya, dan salah seorang penulis wahyu di masa Rasulullah. Zaid bin Tsabit dalam tugasnya dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan.[3]
Dari berbagai riwayat
menyebutkan bahwa penyimpanan shuhuf-ahuhuf itu dipegang oleh khalifah, namun
setelah khalifah Umar bin khathab wafat, shuhuf-shuhuf itu tidak disimpan oleh
Utsman sebagai khlafah berikutnya, tetapi dipegang oleh Hafsah. Karena beliau
adalah istri Rasul dan anak khalifah Umar, beliau juga sosok yang pandai
membaca dan menulis.
Pada masa khalifah Utsman
bin affan terjadi perbedaan bacaan (qira’at) diantara umat islam yang
mengakibatkan perselisihan yang hebat diantara mereka.
Diriwayatkan oleh Ibnu
Atsir dalam kitab Al-Kamil, tentang sebab-sebab terjadinya perselisihan qira’at
Al-Qur’an. Bahwa penduduk Himash yang mengambil qira’at dari Al-Miqdad,
menganggap qira’at mereka lebih baik dari qira’at-qira’at yang
lain. Begitu juga yang dilakukan oleh penduduk Damaskus dan Kufah yang
mengambil qira’at dari Abdullah bin Mas’ud. Sementara penduduk Bashrah memegang
teguh qira’at yang mereka terima dari Abu Musa Al-Asy’ary.[4]
Perselisihan-perselisihan itulah yang disampaikan oleh Hudzaifah Ibnu Yaman
kepada khalifah Utsman bin Affan, dan kemudian meminta agar segera memperbaiki
keadaan tersebut.
Maka dibetuklah suatu
tim penulisan Al-Qur’an yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit, dengan
beranggotakan antara lain Abdullah bin Zubaeir, Sa’ad bin Ash dan Abdurrahman
bin Haris bin Hisyam. Yang bertugas untuk membukkukan Al-Qur’an, yakni menyalin
lembaran-lembaran Al-Qur’an pada masa khalifah Abu Bakar yang dipegang oleh
Hafsah binti Umar untuk dijadikan mushaf.
Ketika itu khalifah
Utsman memberikan nasihat agar:[5]
- Mengambil keputusan dalam penulisan Al-Qur’an berdasarkan bacaan para penghafal Al-Qur’an.
- Apabila terdapat perbedaan di antara mereka tentang suatu bacaan, maka hendaknya ditulis menurut dialek suku Quraisy. Ini disebabkan karena Al-Qur’an diturunkan sesuai dengan dialek mereka.
Ada yang berpendapat
bahwa dalam pengkodifikasian tersebut terdapat hambatan, yaitu perbedaan
qira’at diantara orang-orang Arab, meskipun Utsman telah memberikan ketentuan
di atas.
Setelah tugas itu
selesai dikerjakan oleh tim tersebut, maka lembaran-lembaran Al-Qur’an kemudian
dikembalikan kepada Hafsah binti Umar.
Hasil pembukuan Al-Qur’an
itu diberi nama Al-Mushaf, dan ditulis beberapa buah. Empat diantaranya dikirim
ke Mekkah, Syiria, Basrah, dan Kufah.
Sedangkan sisanya
disimpan di Madinah sebagai acuan khalifah Utsman sendiri. Mushaf ini lah yang
kemudian dikenal dengan Mushaf al-Imam.
Sesudah masa Utsman,
boleh disebut tidak ada lagi perubahan yang berarti; namun perbaikan dan
penyempurnaan teknis terus berjalan seperti yang dilakukan pada masa
pemerintahan Abdul Malik bin Marwan.[6]
Semua perubahan dan
perbaikan yang dilakukan sesudah Utsman itu semata-mata untuk memudahkan
membaca dan memahami Al-Qur’an.
Adapun perbedaan qira’at
yang masih terdapat hingga kini masih dipakai, karena mempunyai riwayat yang
jelas dari Nabi dan tidak bertentangan dengan mushaf yang ditulis pada masa
khalifah Utsman.
Dengan demikian,
Al-Qur’an yang dibukukan pada masa ini mempunyai faedah yang besar bagi umat
islam, diantaranya:
- Menyatukan kaum muslimin dengan satu bentuk mushaf, yang seragam dalam ejaan dan tulisannya.
- Menyatukan bacaan. Walaupun kenyataan masih terdapat perbedaan bacaan, namun tetap satu dalam ejaan. Sedangkan bacaan yang tidak sesuai dengan mushaf utsmani tidak boleh digunakan lagi.
- Menyatukan tertib susunan surat-surat.
Penulisan Al-Qur’an
yang dilakukan oleh khalifah Utsman ini adalah tahap pertama. Sedangkan
penyempurnaan dengan menggunakan titik-titik, baru dikerjakan pada masa
khalifah Marwan bin Hakam, yang dipelopori oleh Abu Al-Aswad Ad-Duali.
Dilanjutkan dengan menggunakan tanda (syakal atau harakat) yang di pelopori
oleh Hajjaj bin Yusuf. Dan berikutnya penyempurnaan dengan tanda waqaf, marka’
dan sebagainya.[7]
Al-Qur’an tersebut pada
mulanya ditulis bertahap dengan khath Kufi, khath Raihani, khath Tsuluts, dan
hath Nasakh. Dengan khath Nasakh inilah kemudian untuk pertama kalinya
Al-Qur’an dicetak di Jerman (Hamburg).[8]
[1] Ahsin W.
Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an (Jakarta:
Amzah, 2008) cet.III, hal.262
[2] T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu
Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1980) cet.VIII, hal.98
[3] Ibid, hal.100
[4] Ibid, hal.103
[5]
Afrzalurrahman, Indeks Al-Qur’an, diterjemahkan
oleh Ahsin W. (Jakarta: Amzah, 2009) cet. IV, hal.333
[6]
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hal.37
[7]
Afrzalurrahman, Op. Cit,hal.334
[8] Ibid,